Simulakra Siman

Mencari yang Fiksi dalam “Hiruk Pikuk si Al Kisah”

Ardian Agil Waskito
7 min readDec 25, 2020

Dua puluh Juli 1969, Neil Armstrong, berhasil menjadi manusia pertama yang menjejakkan kakinya di Bulan. Keberhasilan misi Apollo 11 itu disiarkan langsung di televisi dan ditonton jutaan orang pada masa itu. Sekitar 5 tahun kemudian, pada tahun 1974, Bill Kaysing, seorang jurnalis yang pernah bekerja di NASA menulis buku berjudul, “We Never Went to the Moon: America’s Thirty Billion Dollar Swindle” yang berisi telaahnya terhadap rekaman serta foto-foto yang dirilis NASA dalam misi Apollo 11 dan menyimpulkan bahwa pendaratan Neil dan Buzz Aldrin hanyalah sebuah rekayasa. Sejak saat itu, berbagai teori konspirasi yang meragukan kebenaran pendaratan manusia pertama di bulan terus bergulir.

Film The Science of Fictions (Hiruk Pikuk si Al Kisah) meminjam kontroversi itu dan menawarkan simulasi yang lain dari teori konspirasi itu: Neil Armstrong tidak mendarat di bulan, tetapi di Gumuk Pasir, Yogyakarta. Siman (Gunawan Maryanto), warga desa setempat, tidak sengaja berada di lokasi produksi video rekayasa itu. Siman melihat para aktor yang tengah berperan menjadi astronot bergerak lambat di depan kamera, sedang tentara asing menjaganya dengan ketat. Penduduk desa mempercayai bak mitos bahwa daerah itu adalah daerah yang terlarang untuk dikunjungi. Siman pun terbujur ketakutan tanpa dapat berbicara sepulang dari sana. Ndapuk, yang sudah dianggap seperti dukun desa, mendatangi Siman dan mengatakan bahwa Siman dipaksa menggingit lidahnya sendiri oleh setan. Namun kilasan bayangan yang seperti mimpi Siman menunjukkan sekelebat adegan lidah Siman sedang dipotong oleh tentara asing. Entah mana yang sebenarnya dialami Siman, tetapi kita kemudian melihat perilakunya yang memilih menirukan gerakan lambat para astronot. Apakah Siman benar telah jadi gila atau ia sedang mencoba menuturkan apa yang pernah dilihatnya lewat gerak tubuh?

Seperti halnya kesimpang-siuran tentang bagaimana lidah Siman terpotong, film ini memang menawarkan berbagai pilihan kemungkinan atas realitas yang tersaji di film. Perkara latar waktu misalnya, di awal kita disuguhi kehidupan Siman dan berbagai peristiwa yang mengitarinya di tahun 1960-an dalam gambar hitam putih dengan rasio 4:3, dan ketika gambar menjadi bewarna dengan rasio 16:9, orang-orang sudah memakai handphone android yang artinya itu adalah masa kini, tetapi Siman tak menunjukkan perbedaan usia. Pun begitu dengan aktor yang memainkan beberapa karakter berbeda di sepanjang film. Ndapuk (Yudi Ahmad Tajudin), misalnya, yang telah ditangkap aparat dan warga karena dituduh komunis di tahun 1966, hadir kembali di latar masa kini sebagai juragan lengger bernama Tupon. Atau Wanto (Alex Suhendra) penjahit yang membawa kabur uang Siman, kemudian muncul kembali menjadi asisten Tupon bernama Gun dan Siman pun tidak menunjukkan kemarahan padanya. Begitupula dengan Nadiyah (Asmara Abigail), seorang PSK, yang di awal film terlihat berada di rumah Siman, entah sebagai kerabat atau istrinya dan ikut bersedih pada Siman yang tengah terbaring.

Sialnya, Yosep Anggi Noen, sang sutradara, tidak memberi tahu kita mana yang ingin disajikannya sebagai realitas dan mana yang dihadirkan sebatas sebagai mimpi. Namun, cara bertutur ini justru berhasil memberi kebebasan pada penonton untuk menafsirkan sendiri alur, waktu, cerita dan makna sesuai dengan pengalaman dan bayangan realitasnya masing-masing. Penonton pun diajak untuk turut bimbang memilih berbagai ragam realitas sosial yang ada, karena yang alami (nature) dan semu atau bahkan palsu menjadi susah dibedakan. Pengalaman menonton seperti ini memberiku kesadaran bahwa sejatinya Hiruk Pikuk si Alkisah ini sedang mengajak kita untuk bertamasya ke alam hiperealitas. Dunia di mana yang fakta dan yang fiksi semakin kabur dan malah saling dipertukarkan.

Jean Baudrillard, salah satu pemikir paling terkenal dalam kajian budaya pop dan komunikasi massa, menawarkan konsep hypereality ini sebagai gejala munculnya berbagai tiruan realitas atau ‘simulasi’ yang bahkan dapat terasa lebih nyata dibanding kenyataan dibaliknya. Apabila Siman yang digambarkan hidup di masa kini hanyalah simulasi dari sosok Siman yang mengalami berbagai peristiwa di tahun 1966, atau malah sebaliknya, pun keduanya akhirnya tidak dapat dibedakan lagi, maka dunia Siman dalam film ini pun telah menjelma menjadi ‘simulakra’.

Simulakra sebagai ruang sosial yang memungkinkan proses simulasi itu berlangsung seringkali dipahami sebagai sesuatu yang palsu dan menipu, tetapi toh dalam dunia hiperealitas dia dapat menjelma menjadi citra yang terasa sama nyatanya dengan realitas yang lain. Namun simulakra Siman bukan soal simulasi gerak astronot dan obsesinya terhadap pesawat luar angkasa semata, tetapi juga tentang simulasi-simulasi atas sejarah (dan obesesi para penguasa) yang semakin mengaburkan identitas kita sebagai bangsa. Sedangkan Siman hanyalah objek dari dunia hiperealitas yang sudah terlanjur diciptakan oleh pihak-pihak yang mampu menguasai dan mengendalikan alat informasi.

Bagi bangsa kita, Perang dingin di era tahun 1960an seharusnya tidak sekedar dipahami sebagai perlombaan ke luar angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, tetapi juga tentang perebutan kekuasaan nasional, tak terkecuali tragedi paska 30 September 1965 yang sebenarnya lebih nyata mempengaruhi kehidupan bangsa ini kemudian. Sayangnya bab perang dingin dalam pelajaran sejarah kita lebih sibuk mengurusi perlombaan negara adidaya ke bulan ketimbang pembantaian puluhan ribu bahkan jutaan orang Indonesia yang dituduh komunis paska tragedi G-30-S itu. Padahal keduanya sampai kini masih terus membangun (hiper)realitasnya. NASA masih terus berupaya memproduksi bukti-bukti ilmiah baru tentang keaslian pendaratan Apollo 11 di bulan untuk menguatkan realitas yang dibangunnya, begitu pula dengan negara kita yang terus saja sibuk mereproduksi peristiwa kelam bangsa ini sebagai bagian dari patriotisme melawan kejahatan bernama komunisme.

The Science of Fictions menghadirkan sejarah dan konspirasi itu sebagai latar dunia Siman, baik rekayasa misi ke bulan yang dilihatnya ataupun penangkapan simpatisan komunis yang menjerat kawan-kawannya. Sayangnya, seperti Siman, di masa kini kita mungkin masih lebih nyaman mengangkat diskusi kontroversi pendaratan Neil Armstrong di bulan yang berada jauh di Amerika Serikat sana, ketimbang penangkapan paksa dan pembantaian massal yang melibatkan orang-orang terdekat kita, baik sebagai korban maupun pelaku. Pun ketika kita mengamati bagaimana film ini dipromosikan ke publik, di mana latar tragedi 1965 nyaris tak pernah disinggung dalam rilis resminya dan sayangnya hal itu masih bisa sangat dimaklumi. Maka, adalah keniscayaan jika Anggi Noen mengarahkan Siman untuk meng-impersonate gerak dan laku Neil Armstrong ketika di bulan, alih-alih Anwar Congo ketika menari cha-cha-cha.

Kendali dan kuasa atas informasi sebagaimana yang terjadi dalam sejarah bangsa kita itu pun secara simultan dihadirkan dalam film melalui karakter orang berbaju tentara bak Jenderal (atau Sukarno?), terutama ketika ia tengah menyimpan potongan roll film dalam sekotak kaleng khong guan. Namun, alih-alih menyembunyikannya, dia malah tampil membawa kaleng khong guan itu dalam sebuah iklan. Sebagaimana kaleng khong guan yang ada di ruang tamu kita setiap lebaran, dia menjelma menjadi simulakra. Ilustrasi gambar kue di kaleng khong guan, seperti yang kita tahu, memang berkali-kali gagal menunjukkan realitas isi kaleng sesungguhnya. Kadang kita beruntung mendapati isinya adalah aneka kue khong guan, tetapi tak jarang kita tertipu dan mendapati rengginang, rempeyek, kerupuk, alat jahit atau bahkan potongan roll film di dalamnya.

Lalu, apa isi rekaman dalam roll film yang disembunyikannya itu? Rekaman rekayasa pendaratan manusia di bulan yang direkamnya di Gumuk Pasir atau justru fakta-fakta tragedi kemanusian era 1965? Barangkali bagi si Jenderal itupun tak lagi jadi penting, toh meskipun tongkrongan-nya seperti penguasa, dia pun hanyalah aktor (hiper)reality-show yang sedang diproduksi. Si Jenderal ini pun dengan apik digambarkan naik mobil odong-odong warna-warni seperti jamak kita temui di alun-alun kidul Jogja yang hanya berjalan lambat karena dikayuh. Sedang ketika berada di mobil dinas tak pernah terlihat dia mengemudikannya dan yang tampak hanya keluh hembusan napasnya saja. Adegan ini seperti metafora bahwa pria berseragam tentara ini hanyalah seorang petugas dari kekuasaan yang lebih besar, yang hanya mampu kendalikan odong-odong alih-alih kendaraan negara yang barangkali adalah analogi dari kendali atas arus informasi publik.

Barangkali memang seperti film inilah fiksi diciptakan. Fiksi yang mampu melekat dibenak pembacanya seringkali memang berangkat dari sebuah realitas yang kemudian dibangun (dibumbui) dengan berbagai imajinasi si pemilik pena, pengendali alat informasi, dan terciptalah realitas semu yang mampu menjelma menjadi simulasi. Simulasi-simulasi ini pun akhirnya dipercaya sebagai sebuah fakta, sedang realitas sesungguhnya malah tidak jarang dianggap telah usang dan bahkan palsu. Fiksi yang sudah jadi fakta itupun akan terus direproduksi lewat simulasi-simulasi lain bukan saja oleh penguasa, tetapi kini juga oleh siapapun lewat perangkat canggih di genggamannya, pun dengan Siman. Lalu, di era media sosial ini, setiap orang dapat mengendalikan alat informasi melalui gawainya? Tentu tidak semudah itu.

Tubuh Siman adalah media yang dimilikinya untuk mengungkapkan fakta yang dirasakan dan diyakininya. Siman pun merepresi perilakunya dalam gerakan lambat, rumah rocket dan atribut astronot yang dipakainya. Meskipun sesekali Siman gagal mengontrol perilakunya ketika nafsu dan amarah menguasainya, tetapi ini justru yang ‘mendaratkan’ Siman untuk tetap menjadi manusia dan tubuhnya memang hanyalah alat informasi yang dikendalikannya. Namun, apakah gagasan Siman berhasil disampaikan? Dalam film kita akan melihat bagaimana Siman malah menjadi bahan lelucon dan bahkan komoditas lingkungannya belaka. Rumah roketnya menjadi ‘objek wisata’ warga desa, uang yang dikumpulkannya ‘dijarah’ tukang jahit dan penjual warung nasi, serta tubuhnya telah jadi badut dan tontonan dalam pentas lengger. Begitu pula kita dengan gawainya. Kita merasa menggenggam alat informasi, tetapi sebenarnya kita hanyalah konsumen dari banjir informasi di dalamnya dan bahkan hanyalah objek dengung (buzz) seperti yang mengerubuti astronot dan Siman di awal dan akhir film.

Akhirnya, fakta yang ingin disampaikan Siman pun malah menjelma menjadi fiksi. Siman seolah merasa sedang menjadi subjek yang mampu memproduksi realitasnya sendiri, padahal ia hanyalah sekedar objek dari berbagai kuasa media dan kontruksi sosial yang berkelindan di kehidupannya. Bukankah itu sama seperti yang kita alami saat ini?
Selamat datang di taman hiperealitas, Siman!
Selamat bertemu simulakra Siman, kamu!

Ardian Agil Waskito
Penggiat Film & Koordinator Sineroom
(kolektif eksibisi dan apresiasi sinema berbasis di Semarang)

--

--

Ardian Agil Waskito

Penikmat film & buku. Pendiri sineroom, kolektif sinema yg berbasis di Semarang. Akan menilik ulang film dan buku yang pernah dinikmatinya di platform ini.