Istirahatlah, Kata-Kata!

Ardian Agil Waskito
3 min readJun 19, 2020

Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) hanya ditampilkan tidur dua kali sepanjang film Istirahatlah Kata-Kata. Pertama, Wiji tertidur di bawah tangga rumah Thomas, temannya di Pontianak, setelah akhirnya menyelesaikan puisinya. Kedua dia tertidur di antara tumpukan jemuran kering dan putrinya yang asyik makan kacang di rumahnya di Solo. Sutradara dan penulis Yosep Anggi Noen memang memaksa Wiji untuk lebih banyak begadang di sepanjang film ini. Begadang yang sungguh ada artinya.

Wiji Thukul dikenal sebagai penyair sekaligus aktivis pro demokrasi yang lantang bersuara pada era Orde Baru. Paska peristiwa “Sabtu Kelabu” pada 27 Juli 1996 di Jakarta, dia bersama sejumlah aktivis dituduh menjadi pemicu kerusuhan. Wiji pun melarikan diri dan bersembunyi selama berbulan-bulan di berbagai tempat. Sempat beberapa kali menampakkan diri pada aksi-aksi jelang tergulingnya rezim Orde Baru pada awal tahun 1998, Wiji kemudian dinyatakan hilang hingga saat ini.

Film Istirahatlah Kata-Kata adalah tentang secuplik kisah Wiji Thukul selama pelariannya itu di Pontianak. Tidak banyak film fiksi biografi tokoh Indonesia yang fokus hanya pada sebuah peristiwa penting dalam hidup sang tokoh. Film biografi Indonesia cenderung masih terjebak pada tendensi untuk menceritakan perjalanan hidup si tokoh secara lengkap sejak anak-anak hingga berbagai peristiwa yang membuatnya dikenal luas, atau bahkan hingga kematiannya. Hal yang sebenarnya mustahil dilakukan pada medium film fiksi.

Imbasnya kita sering hanya memperoleh potong-potong informasi dan sekedar visualisasi dari kilasan sejarah hidup tokoh, alih-alih kedalaman kepribadian atau peristiwa penting yang melibatkannya. Istirahatlah Kata-Kata berhasil lepas dari tendensi itu. Meskipun mungkin banyak orang yang tidak mengenal Wiji Thukul dan perannya dalam penegakan hak asasi manusia, kita akan diajak masuk dalam kegelisahan, kesepian dan pergulatan batinnya sebagai buronan politik rezim otoriter. Rentang waktu yang seharusnya tidak mudah kita lupakan dan film ini berupaya menjadi pemantik kita untuk menggali apa yang terjadi pada negeri ini di masa itu beserta nasib Wiji Thukul dan para aktivis yang masih hilang hingga hari ini.

Kegelisahan dan kesepian itu dengan apik ditampilkan lewat malam-malam penuh begadang Wiji. Suatu kali dia sulit tidur karena listrik mati dan bayi tetangga menangis, di lain waktu dia memikirkan cara melarikan diri jika sewaktu-waktu ada aparat datang. Bahkan Wiji memilih nongkrong di kedai daripada tidur setelah kondisi terasa cukup tenang di rumah Martin, kawannya.

Kalaupun akhirnya kita melihat Wiji tertidur, itupun karena puisi dan rumah, bukan karena tuak atau bercinta. Maka, ketika Martin bertanya, “Mimpi apa kau semalam?” Itu ia tujukan pada istrinya, bukan kepada Wiji yang bahkan tak pernah tidur, meskipun mimpi yang dikisahkan kemudian adalah mimpi Wiji yang mengambarkan ketakutannya. Bukan ketakutannya pada aparat yang bisa datang kapanpun untuk menangkapnya, tetapi pada penindasan kemanusiaan yang dilakukan rezim. “Mereka menginjak-injak aku,” kata Wiji.

Tidur adalah salah satu hal esensial bagi kehidupan manusia. Meskipun salah satu penelitian pada International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health menemukan bahwa seseorang dapat hidup tanpa tidur selama sebelas hari berturut-turut, kurang tidur tetaplah bukan kondisi yang baik bagi tubuh dan mental. Ketika Wiji menyebut nama Rhoma Irama dan Pink Floyd dalam satu kalimat saat ia bertemu Sipon, istrinya, di hotel melati, kita pun diajak memahami bahwa Wiji sedang tidak baik-baik saja meskipun dia tidak tidur karena sebuah tujuan.

Apabila Rhoma jelas menghimbau kita untuk tidak begadang, Pink Floyd dalam album A Momentary Lapse of Reason seperti sedang melempar pesan tentang adanya penyimpangan mental sementara dari orang yang begadang. Wiji Thukul, bagiku, adalah pria yang terjaga sendirian diantara puluhan ranjang kosong di sampul album itu. Berterimakasihlah kepada Wiji Thukul, mbak Sipon dan para aktivis pro demokrasi yang membuat kita kini dapat tidur cukup nyenyak, karena sejatinya kesewenang-wenangan dan ketidakadilanlah yang tidak pernah tidur dan menghantui setiap kita menyuarakan kebenaran.

Originally published at http://underscoresofagil.wordpress.com on June 19, 2020.

--

--

Ardian Agil Waskito

Penikmat film & buku. Pendiri sineroom, kolektif sinema yg berbasis di Semarang. Akan menilik ulang film dan buku yang pernah dinikmatinya di platform ini.