Duka atau Melankolia?

Ardian Agil Waskito
6 min readJan 5, 2021

Ulasan Film “Generasi 90an: Melankolia”

Melankolia dan duka adalah dua hal yang berbeda. Meskipun gejolak dan manifestasi perasaan kesedihan yang ditunjukkan keduanya lewat perilaku secara umum tampak sama, Sigmund Freud dalam sebuah artikel klasik berjudul “Mourning and Melancholia” (1917) menjelaskan bahwa melankolia lebih patogenik dibanding kedukaan yang lebih alamiah dan wajar terjadi pada siapapun ketika kehilangan seseorang yang dicintainya. Duka memiliki objek yang jelas dan terjadi dalam kesadaraan seseorang, maka duka bisa mereda ketika kita mampu berdamai dengan rasa kehilangan, menyadari bahwa yang telah hilang tak akan kembali atau menemukan makna dibaliknya. Namun, melankolia lebih sulit diidentifikasi dan dipahami karena terjadi dalam ketidaksadaran seseorang. Alih-alih berdamai dengan objek kehilangannya, orang dengan melankolik akan meleburkan sebagian egonya dengan objek kehilangan itu, maka selain kesedihan yang akut, melankolia akan mengajak penyandangnya untuk terus larut dalam perasaan bersalah, tak berharga dan tidak berdaya. Baik duka dan melankolia akan acap kita jumpai dalam keluarga, teman, kerabat atau kekasih yang mengalami momen kematian seseorang yang dicintai.

Inilah yang konon terjadi pada sebuah keluarga dalam film Generasi 90an: Melankolia (2020), ketika Ayah (Gunawan), Ibu (Marcella Zalianty) dan Abby (Ari Irham), harus meratapi kehilangan anak sulung dalam keluarga itu, Indah (Aghniny Haque) akibat kecelakaan pesawat. Cerita kemudian bergulir pada kesedihan dan trauma Abby, si adik, dan juga Sephia (Tasya Namya) sahabat Indah yang mengalami perasaan duka serupa. Sayangnya judul yang menukil istilah melankolia di film ini tidak benar-benar menggambarkan tentang orang-orang yang mengalami kesedihan patologis itu. Nasib melankolia di judul film ini pun sama seperti kata “90an” yang gagal dihadirkan dalam konsep ceritanya, kecuali soundtrack film, tahun kelahiran Indah yang disebutkan dengan verbal, barang-barang jadul di gudang rumah (yang toh bisa diganti dengan barang apapun di masa kini) dan gaya berbusana retro para karakternya.

Penggunaan frasa ‘Generasi 90an’ di film ini menjadi begitu menganggu. Sebagai sebuah intelectual property barangkali ‘Generasi 90an’ diharapkan dapat mengeruk masa untuk mau berbondong-bondong ke bioskop, tetapi konsep film yang mengharu biru berbanding terbalik dengan keceriaan atas nostalgia dan kenangan kehidupan di tahun 1990an, seperti ketika hal-hal yang analog belum beralih ke digital dan kehidupan sosial belum perlu tampil dalam sosial-media. Jangan berharap kita akan menemukan romantisme hubungan kaset pita dengan pensil seperti di film Galih dan Ratna atau ngobrol berjam-jam lewat telepon umum seperti Dilan dan Milea, karena Abby si tokoh utama pun lahir di tahun 2000, meskipun entah mengapa dia lebih memilih mendengarkan musik lewat walkman ketimbang spotify atau bermain nintendo lawas ketimbang mobile legend di ponselnya.

Padahal banyak fenomena penting yang terjadi pada rentang dekade 90an, selain sekedar kematian Kurt Cobain yang sama dengan tahun kelahiran Indah. Pertama adalah tentang sebuah kecelakaan pesawat yang pernah menjadi duka bangsa ini di tahun 1997, yang sebenarnya dapat membuat situasi emosi keluarga Abby menemukan konteks yang lebih nyata. Pada 26 September 1997 sebanyak 234 orang penumpang dan awak pesawat Garuda Indonesia tewas setelah jatuh di sebuah desa di Sumatera Utara. Kecelakaan itu hingga saat ini masih menjadi kecelakaan pesawat dengan korban jiwa terbanyak di Indonesia. Sedang yang kedua adalah rangkaian peristiwa sosial-politik dan juga krisis ekonomi antara tahun 1996–1998 yang kemudian menggulingkan rezim Orde Baru melalui gerakan reformasinya.

Fenomena sosial-politik di era tahun 90an yang masih cukup jarang disinggung di film kita, seharusnya sangat dapat memperkaya konteks gejolak kehidupan keluarga menengah ke atas yang menjadi fokus penceritaan di film ini. Hiruk pikuk reformasi dan juga duka akibat kecelakaan pesawat dengan berbagai keterbatasan alur informasi di masa itu, sebenarnya dapat menjadi refleksi yang baik atas melankolia kolektif yang pernah dialami bangsa ini. Melankolia kolektif membawa arus kesedihan yang akut pada masyarakat akibat berbagai kehilangan yang terjadi paska sebuah fenomena kelam yang melanda suatu masyarakat. Barangkali sama halnya dengan perasaan kesedihan dan rasa trauma bangsa ini paska tragedi kelam 1965, yang sayangnya telah direpresi begitu dalam oleh kita.

Jika Orham Pamuk, sastrawan Turki, dapat memaknai Hüzün (perasaan depresi bangsa setelah masa kejayaan kesultanan Utsmani di Turki luluh lantak) melalui karya-karya sastra, mengapa kita tidak bisa memaknai fenomena melankolia kolektif itu lewat film? Bagi Pamuk, melankolia kolektif sebenarnya juga telah mengajari mereka untuk bertahan di masa-masa sulit, dan kemudian mencatatnya dalam sejarah sebagai sebuah permulaan yang terhormat untuk kembali bangkit. Kondisi melankolia memang tak sepenuhnya buruk. Menurut Sigmund Freud, orang melankolik justru dapat mulai mengenal dirinya ketika ia merasa sebagai manusia yang kerdil, egois atau pendusta. Meskipun Freud pun tak paham mengapa seseorang harus menderita dahulu untuk menemukan dirinya, tetapi melankolia dapat membuat seseorang menjadi lebih mawas diri, atau yang dalam terma Ranggawarsita di Serat Kalatida yang sejatinya juga berbicara soal melankolia kolektif disebut “eling lan waspada”.

Kembali ke film, nampaknya hanya karakter Abby lah yang mendekati ciri seseorang yang melankolik. Perasaan bersalahnya karena memaksa Indah menunda penerbangannya begitu menghantui hari-harinya. Bahkan tergambar cukup apik dalam adegan Abby terjatuh di kursi restoran karena bayangannya pada kecelakaan pesawat. Kemurungannya yang akut itu tak lagi mampu disembuhkan lewat kebersamaannya dengan Kirana (Jennifer Coppen), sang pacar yang cukup bersimpati padanya, atau pencariannya pada sosok pengganti Indah yang gagal dia temukan pada diri Sephia. Alih-alih menemukan figur kakak, Abby justru terlibat cinta erotis dengan Sephia. Ini penggambaran psikologi yang menarik bagi Abby, karena Kirana dianggap tidak dapat melebur dengan ego kesedihannya, Abby lebih memilih bersama Sephia yang juga mengalami duka yang sama dengannya, maka meleburlah mereka dalam melankolia (dan cinta?). Sayangnya kemudian kita pun sadar bahwa Sephia ini adalah karakter yang tidak jelas latar belakang dan motifnya, termasuk jalinan cinta segitiganya dengan Bayu (Wafda Saifan) dan Indah yang sebenarnya tidak terlalu penting dalam mendukung struktur cerita kecuali hanya menambah efek kejut plot twist yang klise.

Abby yang terus memaksa untuk melebur dalam rasa bersalah, kesedihan dan traumanya serta menolak untuk kembali hidup normal ini lah yang cukup meyakinkan kita jika ia memang tengah menuju melankolia. Namun sialnya ujung dari proses melankolia Abby itu dengan mudah diputarbalikkan hanya lewat ceramah sang Ibu yang sangat normatif dan bahkan dengan penyampaian yang terlampau kaku untuk sebuah dialog Ibu-Anak. Sebuah akhir film yang sungguh menyederhanakan solusi atas kondisi psikologis manusia yang sejatinya membutuhkan fase panjang dalam kehidupan seorang melankolik. Pun eksplorasi atas perasaan sentimentil Ibu yang salah satunya ditunjukkan dengan kegemarannya mengoleksi barang lawas, menjadi terasa janggal ketika dia kemudian menjadi sosok bijak bak pahlawan yang dapat menyadarkan Abby. Padahal karakter Ibu sebenarnya berpotensi untuk menjadi sosok melankolik lain, tetapi karakternya memang tidak memiliki ruang yang cukup untuk tumbuh dalam film.

Dalam rilisnya, para pembuat film mengklaim bahwa film ini berbicara tentang “5 Stages of Grief” atau lima tahapan kesedihan manusia, yaitu penyangkalan (denial), amarah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan mengikhlaskan (acceptance). Namun kita sebenarnya justru tidak akan menemukan tahap-tahapan itu selama menonton filmnya, kecuali hanyalah perayaan kesedihan yang berlarut hampir selama dua pertiga film setelah momen bersenang-senang yang canggung. Kita bahkan hanya menemukan lompatan antar tahapan itu tanpa adanya pemicu yang kuat, terutama ketika keluarga itu tiba-tiba menuju ke tahap acceptance setelah viewfinder Indah ditemukan. Namun bagaimanapun adegan mencuci viewfinder yang seperti memandikan bayi memang cukup ikonik dan efektif menciptakan suasana kesedihan tanpa perlu tangisan yang berlebih.

Melankolia yang menjadi judul film ini pun pada dasarnya berbeda dengan grief atau duka dalam pemahaman Freud seperti di awal tulisan ini, sehingga penjelasan pembuat film tentang 5 Stages of Grief malah menjadi hal lain yang cukup menganggu dan bahkan salah kaprah. Namun, film ini setidaknya menghadirkan kembali perspektif keluarga dalam menyikapi dan memaknai sepenggal isu dekat dan bisa jadi akan kita hadapi dalam kehidupan. Perspektif keluarga merupakan satu hal yang sangat khas ada di realitas hidup orang Indonesia dan sudah selayaknya terus mendapat tempat untuk dieksplorasi dalam karya sinema kita. Kita pun boleh mengapresiasi penampilan para aktor yang mampu menghidupkan emosi dengan tepat hampir di sepanjang film, begitu pula gelap-terang gambar yang menuntun kita pada emosi yang tengah dibangun. Dua hal itu setidaknya cukup membuat kita bertahan menonton hingga akhir.

“Happy families are all alike, every unhappy family is unhappy in its own way” (Keluarga yang bahagia akan sama saja, tetapi keluarga yang tidak bahagia memiliki kemurungannya masing-masing), begitu kira-kira Leo Tolstoy menuliskannya dalam novel Anna Karenina.

ditulis oleh Ardian Agil Waskito
Koordinator Sineroom (kolektif eksibisi dan apresiasi sinema berbasis di Semarang) dan Komite Film Dewan Kesenian Semarang

--

--

Ardian Agil Waskito

Penikmat film & buku. Pendiri sineroom, kolektif sinema yg berbasis di Semarang. Akan menilik ulang film dan buku yang pernah dinikmatinya di platform ini.